Jumat, 15 April 2011

ASKEP PADA PASIEN GAGAL GINJAL AKUT

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Gagal ginjal atau Acute renal failure (ARF) dapat diartikan sebagai penurunan cepat/tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi BUN [Blood Urea Nitrogen] . Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin.
Gagal ginjal Adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria dan berakibat azotemia progresif disertai kenaikan ureum dan kreatinin darah (Imam Parsoedi A dan Ag. Soewito :Ilmu Penyakit dalam Jilid II;91 )

B.Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan gagal ginjal akut
2.Ada berapa klasifikasi gagal ginjal akut
3.Bagaimana etiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan dan Asuhan keperawatan pada Gagal Ginjal Akut (GGA)
C.Tujuan Penulisan

1.Untuk memahami definisi, , etiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan dan Asuhan keperawatan pada Gagal Ginjal Akut (GGA)
2.Memenuhi salah satu tugas perkuliahan KMB di Akademi Keperawatan Pemda Garut

D.Metode Penulisan
Dalam penulisan dan penelitian makalah ini menggunakan sumber sumber yang ada seperti buku buku yang berada di perpustakaan, dengan teknologi seperti internet .

E.Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN yang terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penulisan , rumusan masalah. Metode penulisan dan sistematika penulisan
BAB II TINJAUAN TEORITIS yang terdiri dari Pengertian, Anatomi Fisiologi, Klasifikasi , Etiologi , Patofisiologi ,Pelaksanaan pada GGA, Tanda dan Gejala, Manifestasi Klinik, Data dasar pengkajian pada pasien ,Pemeriksaan Diagnostik , Prioritas Keperawatan, Diagnosa Keperawatan
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN yang berisi kesimpulan dan saran

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.Pengertian
Gagal ginjal akut adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria dan berakibat azotemia progresif disertai kenaikan ureum dan kreatinin darah (Imam Parsoedi A dan Ag. Soewito :Ilmu Penyakit dalam Jilid II;91 )
Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. (Davidson 1984).
Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba, sering kali dengan oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta asidosis metabolic dan hiperkalemia. ( D. Thomson 1992 : 91 )

B.Anatomi Fisiologi
Ginjal berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal. Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter,kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah ”menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.

Fungsi :
1.Bertugas sebagai sistem filter/saringan, membuang ”sampah”.
2.Menjaga keseimbangan cairan tubuh.
3.Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
4.Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.
5.Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.

C.Klasifikasi
1. Gagal Ginjal Akut Prerenal
2. Gagal Ginjal Akut Post Renal
3. Gagal Ginjal Akut Renal

D. Etiologi
Tiga kategori utama kondisi penyebab Gagal Ginjal Akut adalah :
•Pre Renal
Gagal ginjal akut Prerenal adalah keadaan yang paling ringan yang dengan cepat dapat reversibel, bila ferfusi ginjal segera diperbaiki. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik/morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA).
1. Dimana aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomerulus.
2. Penurunan volume vaskuler
3. Kehilangan darah/plasma : perdarahan luka baker
4. Kehilangan cairan ekstraselluer : muntah,diare
5. Kenaikan kapasitas kapiler : Sepsis, Blokade ganglion, Reaksi anafilaksis
6. Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung : Renjatan kardiogenik, Payah jantung kongestif, Dysritmia, Emboli paru, Infark jantung.
• GGA Renal
1 GGA renal sebagai akibat penyakit ginjal primer seperti :
a. Glomerulonefritis
b. Nefrosklerosis
c. Penyakit kolagen
d. Angitis hipersensitif
e. Nefritis interstitialis akut karena obat, kimia, atau kuman.

2. Nefrosis Tubuler Akut ( NTA )
Nefropati vasomotorik akut terjadi karena iskemia ginjal sebagai kelanjutan GGA. Prerenal atau pengaruh bahan nefrotoksik.Bila iskemia ginjal sangat berat dan berlangsung lama dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis kortikol akut( NKA) dimana lesi pada umumnya difus pada seluruh korteks yang besifat reversibel.Bila lesinya tidak difus (patchy) ada kemungkinan reversibel.
3. Akibat dari kerusakan struktur glomerulus atau tubulus distal.
4. Kondisi seperti terbakar,udema akibat benturan dan infeksi dan agen nefrotik dapat menyebabkan nekrosi tubulus akut (ATN)
5. Berhentinya fungsi renal.
6. Reaksi transfusi yang parah juga gagal intra renal.hemoglobin dilepaskan melalui mekanisme hemolisis melewati membran glomerulus dan terkonsentrasi ditubulus distal menjadi faktor terbentuknya hemoglobin.
7. Faktor penyebab adalah : pemakaian obat-obat anti inflamasi, non steroid terutama pada pasien lansia.
• Post Renal
GGA posrenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Penyebab tersering adalah obstruksi, meskipun dapat juga karena ekstravasasi
1. Obstruksi dibagian distal ginjal
2. Tekanan ditubulus distal menurun, akhirnya laju filtrasi glomerulus meningkat

E.Patofisiologi
Perjalanan Klinis Gagal Ginjal Akut
a. Oligurria
b. Diuresis
c. Pemulihan
Pembagian ini dipakai pada penjelasan dibawah ini , tetapi harus di ingat bahwa gagal ginjal akut dan azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urine lebih dari 400 ml/jam.
STADIUM OLIGURIA
Penting sekali untuk mengetahui awitan oligiria, menentukan penyebabab gagal ginjal, dan mulai mengobati setiap penyebab yang reversible. ARF tipe ATN harus dibedakan dari kegagalan prarenal dan pascarenal dan kelainan intrarenal lainnya (contohnya, glomerulonefritis pascatreftokokus akut). Diagnosis gagal ginjal akut ditegakan setelah penyebab lainnya disingkirkan.
Obstruksi pascarenal harus disingkirkan terutama jika penyebab gagal ginjal tidak jelas. Adanya anuria atau periode anuaria yang diselingi periode berkemih dalam jumlah normal mengarah pada kemungkinan obstruksi. Obstruksi pada uretra dan leher kandung kemih dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi atau scan ginjal dengan radioisotope dan pielograpi retrograde.
Ultrasonografi dapat mengungkap ukuran ginjal dan dapat menunjukan adanya obstruksi batu pada pelfis ginjal atau ureter. Scan radiosotop dapat dipakai untuk menilai keadaan pembuluh darah utama ginjal dan utama ginjal dan berguna jika dicurigai terdapat oklusi arteri atau vena Obstruksi yang berkepanjangan dapat menyebabkan gagal ginjal instrinsik yang sering kali irreversible. Penanganannya dengan segera mengatasi obstruksi. Yang terakhir, oligurea pararenal adalah keadaan yang paling sering menyebabkan ARF dan harus dibedakan dengan ATN.
OLIGURIA PRARENAL VERSUS ATN
Oliguria prarenal dan azotemia merupakan keadaan fisiologis dan sebenarnya reversible. Ke adaan ini disebabkan oleh syok, penurunan volume plasma dengan konsekuensi penurunan aliran darah ginjal dan GPR. Oliguria dapat terjadi akibat salah satu penyebab prarenal gagal ginjal akut seprti yang telah dibahas sebelumnya. Bila tidak dibatasi , oliguria dapat berkembang menjadi ATN.
STADIUM DIURESIS
Stadium dieresis gagal ginjal akut dimulai bila keluaran urine meningkat sampai lebih dari 400 ml per hari Rasio urea urine/plasma. Stadium ini biasanya berlangsung 2 sampai 3 minggu. Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter ,asalkan pasien itu tidak mengalami hidrasi yang berlebihan. Volume urine yang tinggi pada stadium dieresis ini agaknya karena dieresis osmotic akibat tingginya kadar urea darah, dan mungkin juga disebabkan masih belum pulih nya kemampuan tubulus yang sedang pada masa penyembuhan untuk mempertahankan garam dan air yang difiltrasi.

STADIUM PENYEMBUHAN
Stadium penyembuhan gagal ginjal akut berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Tetapi beberapa pasien tetap menderita penurunan GPR yang permanen. Sekitar 5% pasien membutuhkan dialysis untuk waktu yang lama atan transplantasi ginjal, sebanyak 5% pasien yang lain mungkin mengalami penurunan fungsi ginjal yang progresif. Meskipun kerusakan epitel tubulus secara teoritis reversible , ATN merupakan keadaan stadium oliguria , dan sepertiga pasien ATN meninggal selama stadium dieresis.
PENANGANAN NEKROSIS TUBULAR AKUT (ATN)
Pencegahan cedera iskemik dan nefrotoksik penyebab ATN membutuhkan pengawasan ketet untuk mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler, dan mempertahankan volume ECF , terutama pada pasien yang memiliki factor resiko atau yang menjalani pengobatan neprotoksik. Pengobatan yang menurunkan resistensi dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi ginjal atau mengenai respon autoregulasi ginjal, Dan juga harus digunakan secara hati- hati.
Setelah ditegakannya diagnosis ATN , maka pertimbangan primer adalah mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan penanganan setiap komplikasi misalnya infeksi. Dialisis menggantikan fungsi ginjal hingga tubulus ginjal mengalami regenerasi dan fungsi ginjal menjadi pulih. Indikasi absolute untuk dialysis adalah adanya gejala dan tanda sindrom uremik, hiperkalemia, retensi urine, dan asidosis berat.penggantian ginjal secara terus menerus juga dapat digunakan dalam pengobatan ARF, baik hemofiltrasi maupun hemodiafiltrasi.

F. PENGELOLAAN GGA
Prinsip pengelolaannya di mulai dengan mengidentifikasi pasien yang berisiko GGA (sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA, mempertahankan hemoestatis; mempertahankan euvolemia, keseimbangan cairandan elektrolit, mencegah komplikasimetabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat –obat yang di pakai.
Pengelolaan medis GGA
Pada GGA terdapat 2 masalah yang sering di dapatkan yang mengancam jiwa yaitu edema paru dan hiperkalemia.
Edema paru
Keadaan ini terjadi akibat ginjal tak dapat mensekresi urin, garam dalam jumlah yang cukup. Posisi pasien setengah duduk agar cairan dalam paru dapat didistribusi ke vaskular sistemik, di pasang oksigen, dan di berikan diuretik kuat (furosemid inj.).
Hiperkalemia
Mula-mula di berikan kalsium intravena (Ca glukonat) 10% sebanyak 10 ml yang dapat di ulangi sampai terjadi perubahan gelombang T. Belum jelas cara kerjanya, kadar kalium tak berubah, kerja obat ini pada jatung berfungsi untuk menstabilkan membran. Pengaruh obat ini hanya sekitar 20-60 menit. Pemberian infus glukosa dan insulin (50 ml glukosa 50% dengan 10 U insulin kerja cepat) selama 15 menit dapat menurunkan kalium 1-2mEq/L dalam waktu 30-60 menit. Insulin bekerja dengan menstimulasi pompa N-K-ATPase pada otot skelet dan jantung, hati dan lemak, memasukkan kalium kedalam sel. Glukosa di tambahkan guna mencegah hipoglikemia.
Obat golongan agonis beta seperti salbutamol intravena (0,5mg dalam 15 menit) atau inhalasi nebuliser (10 atau 20mg) dapat menurunkan 1mEq/L. Obat ini bekerja dengan mengaktivasi pompa Na-K-ATPase. Pemberian sodium bikarbonat walaupun dapat menurukan kalium tidak begitu di anjurkan oleh karena menambah jumlah natrium, dapat menimbulkan iritasi, menurunkan kadar kalsium sehingga dapat memicu kejang. Tetapi bermanfaatapbila ada asidosis atau hipotensi.
Pemberian diuretik
Pada GGA sering di berikan diuretik golongan loop yang sering bermanfaat pada keadaan tertentu. Pemberian diuretik furosemid mencegah reabsorpsi Na sehingga mengurangi metabolisme sel tubulus, selain itu juga di harapkan aliran urin dapat membersihkan endapan, silinder sehingga menghasilkan obstruksi, selain itu furosemid dapat mengurangi masa oliguri.
Dosis yang di berikan amat bervariasi di mulai dengan dosis konvensional 40 mg intravena, kemudian apabila tidak ada respons kenaikan bertahap dengan dosis tinggi 200 mg setiap jam, selanjutnya infus 10-40 mg/jam. Pada tahap lebih lanjut apabila belum ada respons dapat di berikan furosemid dalam albumin yang di berikan secara intravena selama 30 menit dengan dosis yang sama atau bersama dengan HCT.
Nutrisi
Pada GGA kebutuhan nutrisi di sesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya.
GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yag amat kompleks, tidak hanya mengatur air, asam-basa, elektrolit, tetapi juga asam amino/protein, karbohidrat, dan lemak.
Dialisis atau Pengobatan Pengganti Ginjal
Indikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindrom uremia dan terdapatnya kegawatan yang mengancam jiwa yaitu hipervolemia (edema paru), hiperkalemia, atau asidosis berat yang resisten terhadap pengobatan konservatif.
Pengobatan pengganti ginjal secara kontinyu dengan CAVH (continous arterivenous hemofiltration) yang tidak memerlukan mesin pompa sederhana. CAVH dan CVVH berdasarkan prinsip pengeluaran cairan bersama solutnya melalui membran semipermeabel atau hemofilter oleh karena perbedaan tekanan (convective clearance).
G. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala terjadinya gagal ginjal yang dialami penderita secara akut antara lain :
a. Bengkak mata, kaki
b. Nyeri pinggang hebat (kolik)
c. kencing sakit, sedikit kadang timbul merah/darah bahkan sering kencing
d. Demam
e. Kelainan Urin: Protein, Darah / Eritrosit, Sel Darah Putih / Lekosit, Bakteri.
f. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki
g. Perubahan mental atau suasana hati
h. Kejang
i. Tremor tangan
j. Mual, muntah
k Haluaran urine sedikit, Mengandung darah
l Peningkatan BUN dan kreatinin
m Anemia
n Hiperkalemia
o Asidosis metabolic
p Udema
q Anoreksia,nause,vomitus
rTurgor kulit jelek,gatal-gatal pada kulit.
H.Data Data Pengkajian Pasien
• Aktivitas/Istirahat
Gejala : keletihan, kelemahan, malaise
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus
• Sirkulasi
Tanda : Hipotensi/ hipeetensi malignan eklampsia/hipertensi akibat kehamilan, distrimia jantung, nadi lemah/halus, Edema jaringan umum (termasuk area periorbital), pucat kecenderungan perdarahan
• Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (peningkatan frekwensi, poliuria, penurunan frekwensi, oliguria), disuria (ragu ragu dorongan dan retensi, inflanmasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung diare atau konstipasi, Riwayat HPB
Tanda : Perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat, berawan), oliguria (biasanya 12-21 hari dan), poliuria (biasanya 2-6 hari)
• Makanan/Cairan
Gejala : peningkatan berat badan (edema), penurunan berat badan (dehidrasi), mual, muntah, anoreksia, nyeri uluh hati
Tanda : perubahan turgor kulit/kelembaban, edema (umum di bagian bawah)
• Neurosensori
Gejala : sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot krjang (kaki gelisah)
Tanda : gangguan status mental contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, hilang memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia : ketidakseimbangan elektrolit asam/basa) kejang, faskikulasi otot, aktivitas kejang
• Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri tubuh, sakit kepala
Tanda : perilaku berhati hati/ distraksi gelisah
• Pernafasan
Gejala : Nafas pendek
Tanda : takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman pernafasan kussmaul (nafas amonia), batuk produktif dengan sputum kental merah muda (edema paru)
• Keamanan
Gejala : adanya reaksi transfusi
Tanda : demam (sepsis, dehidrasi), oetekie (area kulit ekimosis), pruritus (kulit kering)
•Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala: Gejala : riwayat penyakit polikistik keluarga, nefritis herediter, batu urianrius, malignansi., riwayat terpapar toksin,(obat, racun lingkungan), Obat nefrotik penggunaan berulang Contoh : aminoglikosida, amfoterisisn, B,anestetik vasodilator, Tes diagnostik dengan media kontras radiografik, kondisi yang terjadi bersamaan tumor di saluran perkemihan, sepsis gram negatif, trauma/cedera kekerasan , perdarahan, cedra listrik, autoimunDM, gagal jantung/hati.
J.Pemeriksaan Diagnostik
1.Darah : ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas.
2. Urin : ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
3. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
4. Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
5. Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
6. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak.
7. Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
8. Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh : glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010menunjukan kerusakan ginjal berat.
9. PH. Urine : lebih dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik.
10. Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio urine/serum sering 1:1.
11. Klierens kreatinin urine : mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.
12. Natrium Urine : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
13. Bikarbonat urine : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
14. SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan.
15. Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
16.Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.

Darah :
1. Hb. : menurun pada adanya anemia.
2. Sel Darah Merah : Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan hidup.
3. PH : Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.
4. BUN/Kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1
5. Osmolaritas serum : lebih beras dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine.
6. Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan selular ( asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
7. Natrium : Biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi
8. Ph; kalium, dan bikarbonat menurun.
9. Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
10.Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan penurunan sintesis,karena kekurangan asam amino esensial
11.CT.Scan
12.MRI
13.EKG mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
K. Prioritas Keperawatan
1. Membuat atau mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Mencegah komplikasi
3. Menerima kenyataan situasi
4. Memberikan informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan d

L. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan kelebihan volume cairan b/d gagal ginjal dengan kelebihan air.
• Dapat dihubungkan dengan : mempengaruhi respon regulatori
• Kemungkinan dibuktikan oleh : pemasukan lebih besar dari pada apengeluaran, oliguria, perubahan pada berat jenis urine. Distensi vena TD/CVP berubah. Edema jaringan umum. Peningkatan BB. Perubahan status mental. Penurunan Hb,Ht,elektrolit,kongesti paru pada foto dada
• Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan : Menunjukan haluran urine dengan tepat berat jenis/ hasil laboratorium mendekati normal, BB stabil, TTV dalam batas normal, tak ada edema
N Intervensi Rasional
1. Kaji keadaan udema Edema menunjukan perpindahan cairan krena peningkatan permebilitas sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cxairan walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat 4,5 kg
2. Kontrol intake danout put per 24 jam. Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan kelebihan resiko cairan.
3. Timbang berat badan tiap hari Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan dan masukan cairan yang tepat. Lebih dari 0.5 kg/hari dapat menunjukan perpindahan kesimbangan cairan
4. Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum
Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis.
5. Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik.
Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
6. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal.

2.Curah jantung menurun resiko tinggi terhadap kelebihan cairan (disfugia, gagal ginjal), perpindahan cairan, defisit cairan, ketidakseimbangan elektrolit, efek uremik pada otot jantung
• Faktor resiko meliputi : kelebihan cairan (disfungsi/gagal ginjal), perpindahan cairan, defisit cairan, ketidakseimbangan elektrolit (kalium, kalsium), efek uremik pada otot jantung
• Kemungkinan dibuktikan oleh : tidak dapat diterapkan ; adanya tanda tanda dan gejala membuat diagnosa aktual
• Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan : mempertahankan curah jantung dibutuhkan oleh TD dan denyut jantung irama dalam batas normal pasien

Intervensi Rasionalisasi
1.Awasi TD dan frekwensi jantung Kelebihan volume cairan disertai dengan hipertensi (sering terjadi pada GGA) dan efek uremia meningkatkan kerja jantung dan dapat menimbulkan gagal jantung
2 Auskultasi bunyi jantung Terbentuknya S3/S4 menunjukan kegagalan. Friksi gesekan perikardial mungkin biasanya manifestasi perikardiris uremik
3.Kaji warna kulit, membran mukosa dan dasar kuku perhatikan pengisian kapiler Pucat mungkin menunjukan vasokontriksi atau anemia. Sianosis mungkin berhubungan dengan kongesti paru atau gagal jantung
4. Selediki laporan kram otot/ kesemutan pada jari dengan kejang otot, hiperefleksia Neuromuskular indikator hipokalemia yang dapat juga mempengaruhi kontraktilitas dengan fungsi jantung
5. Siapkan/bantu dialisis sesuai dengan keperluan Didndikasikan untuk distrima menetap gagal jantung progresif yang tidak responsip terhadap terapi lain

3.Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, vomitus, nausea.
• Dapat diohubungkan dengan : katabolisme protein (pembataan diet untuk menurunkanproduk sisa nitrogen), peningkatan kebutuhan metabolik, anoreksia, ulkus mukosa mulut
• Kemungkinan dubuktikan oleh : (tidak dapt diterapkan)
• Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan : Mempertahankan/meningkatkan berat badan seperti yang diindikasikan, bebas edema

Intervensi Rasionalisasi
1.Observasi status klien dan keefektifan diet. Membantu dalam mengidentifikasi dan kebutuhan diet, kondisi fisik umum, gejala uremik dan pembatasan diet mempengaruhi asupan makanan.
2.Berikan dorongan hygiene oral yang baik sebelum dan setelah makan.
Higiene oral yang tepat mencegah bau mulut dan rasa tidak enak akibat mikroorganisme, membantu mencegah stomatitis
3. Berikan makanan TKRGR Lemak dan protein tidak digunakan sebagai sumber protein utama, sehingga tidak terjadi penumpukan yang bersifat asam, serta diet rendah garam memungkinkan retensi air kedalam intra vaskuler.
4.Berikan makanan dalam porsi kecil tetapi sering. Meminimalkan anoreksia, mual sehubungan dengan status uremik.
5.Kolaborasi pemberian obat anti emetic Antiemetik dapat menghilangkan mual dan muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.
4.Aktivity intolerans b/d kelemahan.
• Dapat dihubungkan dengan : penurunan produksi energi metabolik/ pembatasan diet, anemia, peningkatan kebur\tuhan energi contoh : demam/inflanmasi
• Kemungkinan dibuktikan oleh : Kekurangan energi, ketidakmampuan untuk mempertahankan aktivitas biasa
• Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan : melaporkan rasa perbaikan berenergi, berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan
NO Intervensi Rasionalisasi
1 Kaji kebutuhan pasien dalam beraktifitas dan penuhi kebutuhan ADL Memberi panduan dalam penentuan pemberian bantuan dalam pemenuhan ADL.
Kaji tingkat kelelahan Menentukan derajat dan efek ketidakmampun.
Identifikasi factor stess/psikologis yang dapat memperberat Mempunyai efek akumulasi (sepanjang factor psykologis) yang dapat diturunkan bila ada masalah dan takut untuk diketahui.
Ciptakan lingkungan tengan dan periode istirahat tanpa gangguan. Menghemat energi untuk aktifitas perawatan diri yang diperlukan
. Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan Memungkinkan berlanjutnya aktifitas yang dibutuhkan memberika rasa aman bagi klien.
Kolaborasi pemeriksaan laboratorium darah.
Ketidak seimbangan Ca, Mg, K, dan Na, dapat menggangu fungsi neuromuscular yang memerlukan peningkatan penggunaan energi Ht dan Hb yang menurun adalah menunjukan salah satu indikasi teerjadinya gangguan eritopoetin.

5.Resiko tinggi terhadap infeksi b/d depresi pertahanan imunologi, prosedur invasif, perubahan pemasukan diet
•Faktor resiko dapat meliputi : depresi pertahanan imunologi, prosedur invasi, perubahan pemasukan diet
• Kemungkinan dubuktikan oleh : (tidak dapt diterapkan)
• Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan : tidak mengalami gejala infeksi
No Intervensi Raionalisasi
1. Tingkatkan cuci tangan yang baik pada pasien dan staf Menurunkan kontaminasi silang
2. Kaji integritas kulit Ekskoriasi akibatgesekan dapat menjadi infeksi sekunder
3.Awasi tanda vital Demam dengan peningkatan nadi dan pernafasan adalah tanda peningkatan laju metabolik dan proses inflnmasi


6.Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan berlebihan (fase diuretik GGA, denga peningkatan volume urine dan melambatnya pengembalian kemampuan absopsi turbular)
• Kemungkinan dubuktikan oleh : (tidak dapt diterapkan)
• Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan : menunnukan pemasukan dan pengeluaran mendekati seimbang, turgor kulit baik, membran mukosa lembab, nadi perifer teraba BB dan TTV stabil
No Intervensi Rasionalisasi
1. Berikan cairan yang diizinkan selama priode 24 jam Fase diuretik GGA berlanjut ke fase oliguria bila pemasukan cairan tidak dipertahankan terjadi dehidrasi noktural
2. Awasi TD dan frekwensi jantung Hipotensi ortostatik dan takikaria indikasi hipovolemia
3. Kontrol suhu lingkungan : batasi linen tempat tidur Menurunkan diaforesis yang memperberar kehilangan cairan
4.Awasi pemeriksaan lab contoh natrium Pada GGA non oliguria fase diuretik GGA kehilangan urine besar dapat mengakibatkan kehilangan natrium yang dapat meningkatkan kehilangan cairan

7.Kurang Pengetahuan (Kebutuha Belajar)tentang Kondisi Prognosis Dan Kebutuhan Pengobatan
• Dapat dihubungkan dengan : kurag terpajan/ mengingat, salah interprestasi informasi, tidak mengenal sumver informasi
• Kemungkinan dibuktikan oleh ; pertanyaan/ permiantaan informasi : pernyataan salah konsep
• Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan : Menyatakan pemahaman kondisi/ proses penyakit, mengidentifikasi tanda gejala proses penyakit dan gejala yang berhubungan dengan faktor penyebab, melakukan perubahan perilaku dan berpartisipasi dalam pengobatan
No Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji tingkat kecenmasan klien. Menentukan derajat efek dan kecemasan.
2. Berikan penjelasan yang akurat tentang penyakit. Klien dapat belajar tentang penyakitnya serta penanganannya, dalam rangka memahami dan menerima diagnosis serta konsekuensi mediknya.
3. Bantu klien untuk mengidentifikasi cara memahami berbagai perubahan akibat penyakitnya.
Klien dapat memahami bahwa kehidupannya tidak harus mengalami perubahan berarti akibat penyakit yang diderita.
4. Biarkan klien dan keluarga mengekspresikan perasaan mereka.
Mengurangi beban pikiran sehingga dapat menurunkan rasa cemas dan dapat membina kbersamaan sehingga perawat lebih mudah untuk melaksanakan intervensi berikutnya.
5. Memanfaatkan waktu kunjangan yang fleksibel, yang memungkinkan kehadiran kelurga Mengurangi tingkat kecemasan dengan menghadirkandukungan keluarga.














BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan
Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia..
Peningkatan kadar kreatinin juga bisa disebabkan oleh obat-obatan (misalnya cimetidin dan trimehoprim) yang menghambat sekresi tubular ginjal. Peningkatan tingkat BUN juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal, seperti pada perdarahan mukosa atau saluran pencernaan, penggunaan steroid, pemasukan protein. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang hati-hati dalam menentukan apakah seseorang terkena kerusakan ginjal atau tidak
B.Saran
Berikan penjelasan yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya dan untuk mencegah terjangkitnya penyakit gagal ginjal dan mempercepat penyembuhan. Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.


Diposting Oleh :
Nama : Muhammad Randi Rikaz
NIM :05200ID090141
Kelas :2D
Kelompok
 Asep Taupik
 Ilham Abdurahman
 Mahendra Setiawan
 Muhammad Randi Rikaz

MAHASISWA AKPER PEMDA GARUT

ASKEP PADA PASIEN NEFROTIK SINDROM

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
SINDROM NEFROTIK

A. Pengertian
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004).
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).
Sindrom Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbunemia dan hiperkolesterolemia (Rusepno, H, dkk. 2000, 832).

B. Anatomi

Korteks ginjal terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic dengan plasma pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80 % filtrat telah di absorbsi meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotic dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya sekitar 1% yang diekskresi sebagai
urin atau kemih (Price,2001 : 785).

C. Fatofisiologi

Adanya peningkatan permiabilitas glomerulus mengakibatkan proteinuria masif sehingga terjadi hipoproteinemia. Akibatnya tekanan onkotik plasma menurun karean adanya pergeseran cairan dari intravaskuler ke intestisial.
Volume plasma,curah jantung dan kecepatan filtrasi glomerulus berkurang mengakibatkan retensi natrium. Kadar albumin plasma yang sudah merangsang sintesa protein di hati, disertai peningkatan sintesa lipid, lipoprotein dan trigliserida.
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi.
Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.
Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik plasma
Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipopprtein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin (lipiduria)
Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi dan Rita yuliani, 2001 :217)

D.Etiologi
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dibagi menjadi 3 yaitu:
1.Primer/ Idiopatik
a. Yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengn sebab tidak diketahui.
b. Banyak terjadi pada usia sekolah (74% pada usia 2 – 7 tahun)
c. Pria dan wanita 2 : 1
d. Diawali dengan infeksi virus pada saluran nafas atas.

2. Sekunder
a. Disebabkan oleh kerusakan glomerulus (akut/kronik) karena penyakit tertentu.
b. Karena infeksi, keganasan, obat-obtan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, bahan kimia, penyakit metabolik, penyakit kolagen, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif, glomerulonefritis akut/kronis.
c. Banyak terjadi pada anak dengan penurunan daya tahan tubuh/ gangguan imunitas, respon alergi, glomerulonefritis. Dikaitkan dengan respon imun (abnormal immunoglobulin)
d. Pada orang dewasa SN skunder terbanyak disebabkan oleh dibetes melitus

3. Kongenital
a. Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal
b. Herediter Resisten gen
c. Tidak resisten terhadap terapi malalui Transplantasi Ginjal
Beberapa penyakit yang dapat secara spesifik menyebabkan rusaknya glomeruli ginjal dan sering mengakibatkan timbulnya proteinuria tentunya mempercepat timbulnya Nefrotik syndrome:
a.Amiloidosis
b. Congenital nephrosis
c. Focal segmental glomerular sclerosis (FSGS)
Terjadi kerusakan pada jaringan glomeruli, sehingga merusak membran pelindung protein
d. Glomerulonephritis (GN)
e. IgA nephropathy (Berger's disease)
f. Minimal change disease (Nil's disease)
g. Pre-eclampsia
Terjadinya Sindroma Nefrotik juga tergantung usia kejadiannya:
a. Usia kurang dari 1 tahun
b. Usia kurang dari 15 tahun
c. Usia 15 sampai 40 tahun
.

E.Manifestasi klinik
1.Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa
3. Pucat Hematuri, azotemeia hipertensi ringan
4. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
5. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.
6. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa ususs
7. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 : 335)

F.Pemeriksaan diagnostik
1. Uji urine
a. Protein urin – meningkat
b. Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria
c. Dipstick urin – positif untuk protein dan darah
d. Berat jenis urin – meningkat
2. Uji darah
a. Albumin serum – menurun
b. Kolesterol serum – meningkat
c. Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi)
d. Laju endap darah (LED) – meningkat
e. Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.
3. Uji diagnostik
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin (Betz, Cecily L, 2002 : 335).

G.Penatalaksanaan Medik
1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindar makanan yang diasinkan. Diet protein 2 – 3 gram/kgBB/hari
2. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25 – 50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
3. Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut :
a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari luas permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari.
b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu
c. Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi
d. Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital
(Arif Mansjoer,2000)

H.Komplikasi
a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat Hipoalbuminemi
b. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.
d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
(Rauf, .2002 : .27-28).

I. Diagnosa dan Rencana Keperawatan Sindrom Nefrotik
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.
Tujuan:
volume cairan tubuh akan seimbang dengan kriteria hasil penurunan edema, ascites, kadar protein darah meningkat, output urine adekuat 600 – 700 ml/hari, tekanan darah dan nadi dalam batas normal.
Intervensi :
1. Catat intake dan output secara akurat. Rasional : Evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentuan tindakan
2. Kaji dan catat tekanan darah, pembesaran abdomen, BJ urine. Rasional : Tekanan darah dan BJ urine dapat menjadi indikator regimen terapi
3. Timbang berat badan tiap hari dalam skala yang sama. Rasional : Estimasi penurunan edema tubuh
4. Berikan cairan secara hati-hati dan diet rendah garam. Rasional : Mencegah edema bertambah berat
5. Diet protein 1-2 gr/kg BB/hari. Rasional : Pembatasan protein bertujuan untuk meringankan beban kerja hepar dan mencegah bertamabah rusaknya hemdinamik ginjal.
b. Perubahan nutrisi ruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan.
Tujuan :
kebutuhan nutrisi akan terpenuhi dengan kriteria hasil napsu makan baik, tidak terjadi hipoprtoeinemia, porsi makan yang dihidangkan dihabiskan, edema dan ascites tidak ada.
Intervensi :
1. Catat intake dan output makanan secara akurat. Rasional : Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh
2. Kaji adanya anoreksia, hipoproteinemia, diare. Rasional : Gangguan nuirisi dapat terjadi secara perlahan Diare sebagai reaksi edema intestinal
3. Pastikan anak mendapat makanan dengan diet yang cukup. Rasional : Mencegah status nutrisi menjadi lebih buruk.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.
Tujuan:
Tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil tanda-tanda infeksi tidak ada, tanda vital dalam batas normal, ada perubahan perilaku keluarga dalam melakukan perawatan.
Intervensi :
1. Lindungi anak dari orang-orang yang terkena infeksi melalui pembatasan pengunjung. Rasional : Meminimalkan masuknya organisme.
2. Tempatkan anak di ruangan non infeksi. Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
3. Tangan sebelum dan sesudah tindakan. Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
4. Lakukan tindakan invasif secara aseptik. Rasional : Membatasi masuknya bakteri ke dalam tubuh. Deteksi dini adanya infeksi dapat mencegah sepsis.
d. Kecemasan anak berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi).
Tujuan:
kecemasan anak menurun atau hilang dengan kriteria hasil kooperatif pada tindakan keperawatan, komunikatif pada perawat, secara verbal mengatakan tidak takut.
Intervensi :
1. Validasi perasaan takut atau cemas. Rasional : Perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk tebuka sehingga dapat menghadapinya
2. Pertahankan kontak dengan klien. Rasional : Memantapkan hubungan, meningkatan ekspresi perasaan.
3. Upayakan ada keluarga yang menunggu. Rasional : Dukungan yang terus menerus mengurangi ketakutan atau kecemasan yang dihadapi.
4. Anjurkan orang tua untuk membawakan mainan atau foto keluarga. Rasional : Meminimalkan dampak hospitalisasi terpisah dari anggota keluarga.


DAFTAR PUSTAKA :
1. Betz, Cecily L dan Sowden, Linda L. 2002. Pediatrik, Edisi 3,EGC : Jakarta
2.Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakara.
3.Wong,L. Donna, 2004, Pedoman Klinis keperawatan Pediatrik, Edisi 4, EGC : Jakarta
4.http://www.asuhankeperawatannefrotiksindrom.com//

Diposting Oleh :
Nama : Muhammad Randi Rikaz
NIM : 05200ID090141
Kelas : 2D
Kelompok :
 Asep Taupik
 Ilham Abdurahman
 Mahendra Setiawan
 Muhammad Randi Rikaz

MAHASISWA AKPER PEMDA GARUT

ASKEP PADA PASIEN VERITONIUM DIALISA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika ginjal mengalami kerusakan maka ginjal tidak dapat membersihkan tubuh dari sisa-sisa metabolisme. Sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air menumpuk dan lama kelamaan menjadi banyak di dalam darah yang disebut uremia.
Gagal ginjal kronik berarti kehilangan fungsi ginjal yang bisa terjadi secara cepat atau lambat dalam beberapa tahun. End Stage Renal Disease (ESRD) terjadi ketika ginjal mengalami kerusakan tahap akhir, dimana ginjal tidak dapat bekerja dengan baik untuk menjaga keseimbangan zat-zat kimia tubuh yang diperlukan untuk hidup. Pada saat ini pasien memerlukan dialysis sebagai terapi pengganti.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian peritonium dialysis itu?
2. Apa saja fungsi dialysis?
3. Jelaskan anatomi peritoneum dialysis?
4. Apa Prinsip Dasar peritoneum dialysis itu?
5. Apa Proses Peritoneum Dialysis itu?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian peritonium dialysis?
2. Untuk mengetahui fungsi dialysis ?
3. Untuk mengetahu anatomi peritoneum dialysis i?
4. Untuk mengetahui proses peritoneum dialysis?
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 3 bab, Bab 1 Pendahuluan yang berisikan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, dan sistematika Penulisan. Bab 2 Pembahasan. Bab 3 kesimpulan dan saran

BAB II
PEMBAHASAN


A.Definisi Peritoneal Dialisis
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang.
B. Fungsi dialysis :
1. Mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme
2. Mengeluarkan kelebihan air
3. Membantu menjaga keseimbangan zat-zat kimia tubuh

C.Anatomi Membran Peritoneum

1. Rongga Peritoneum
Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus organ-organ, seperti , ginjal, usus, dll. Di dalam rongga perut ini terdapat banyak sel-sel darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialysis pada sisi yang lain.
Rongga peritoneum berisi + 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum. Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan gangguan.
2. Membran Peritoneum
Membran peritoneum merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas permukaan + 1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu: Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal peritoneum), + 20% dari total luas membran peritoneum. Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum), + 80% dari luas total membran peritoneum. Total suplai darah pada membran peritoneum dalam keadan basal + 60 – 100 ml/mnt.
D.Prinsip Dasar peritoneum dialysis
Kateter CAPD (tenchoff catheter) dimasukkan ke dalam rongga peritoneum melalui teknik operasi. Konsentrasi adalah kata-kata yang sering kita dengar di dalam cairan CAPD.
E. Proses Peritoneum Dialysis
Cairan dialysis 2 L dimasukkan dalam rongga peritoneum melalui catheter tunchoff, didiamkan untuk waktu tertentu (6 – 8 jam) dan peritoneum bekerja sebagai membrane semi permeable untuk mengambil sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air dari darah.
Osmosis, difusi dan konveksi akan terjadi dalam rongga peritoneum. Setelah dwell time selesai cairan akan dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui catheter yang sama, proses ini berlangsung 3 – 4 kali dalam sehari selama 7 hari dalam seminggu.
• Difusi
Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke rongga peritoneum dan sebaliknya melalui difusi.
Difusi adalah proses perpindahan solute dari daerah yang berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah, dimana proses ini berlangsung ketika cairan dialisat dimasukkan ke dalam rongga peritoneum.
Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma darah, karena cairan plasma banyak mengandung toksin uremik. Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan CAPD.
• Osmosis
Adalah perpindahan air melewati membrane semi permeable dari daerah solute yang berkonsentrasi rendah (kadar air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi tinggi (kadar air rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan hidrostatik antara darah dan cairan dialisat. Osmosis pada peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD menyebabkan tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi (hipertonik) dibanding plasma, sehingga air akan berpindah dari kapiler pembuluh darah ke cairan dialisat (ultrafiltrasi)Kandungan glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih banyak. Cairan melewati membrane lebih cepat dari pada solute. Untuk itu diperlukan dwell time yang lebih panjang untuk menarik solute.Untuk membantu mengeluarkan kelebihan air dalam darah, maka cairan dialisat menyediakan beberapa jenis konsentrasi yang berbeda :
Baxter : 1,5%, 2,5%, 4,25%
Frescenius : 1,3%, 2,3%, 4,25%
Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi :
– Kualitas membrane
– Ukuran & karakteristik larutan
– Volume dialisat
Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan :
• Tekanan osmotic
Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam pembuluh kapiler . Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan intra peritoneal. Peningkatan volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.
Kecepatan transport air dan zat terlarut dapat diestimasi secara periodic melalui PET test (Peritoneal Equilibrum Test)
Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:
– Na (132 meq /lt)
– Cl ( 102 meq /lt)
– Mg (0,5 meq /lt)
– K (0 meq /lt)
Keuntungan CAPD dibandingkan HD :
Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja,Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri, Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD ,Pembuangan cairan dan racun lebih stabil ,Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas, Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung ,Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama
Kelemahan CAPD :
Resiko infeksi
• Peritonitis
• Exit site
• Tunnel
• BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi
Penilaian HD atau CAPD :
Penilaian bersifat individual Adakah faktor kelainan yang menyebabkan CAPD lebih bermanfaat dibanding HD :Kesulitan akses vaskular, penyakit cardiovaskular yang berat,Jarak rumah dengan center HD, pekerjaan
Kontra indikasi CAPD :
• Hilangnya fungsi membran peritoneum
• Operasi berulang pada abdomen, kolostomi,
• Ukuran tubuh yang besar (kemungkinan dengan PD yang adekuat tidak tercapai)
Identifikasi problem yang potensial timbul sebelum CAPD dimulai
– Apakah pasien perlu seorang asisten (keterbatasan fisik / mental)
– Adakah hernia
– Penglihatan kurang
Malnutrisi yang berat
F.Terapi pengganti fungsi ginjal (dialysis) :
1. Hemodialisis (HD)
2. Peritoneal Dialisis (PD :
– Acute Peritoneal Dialisis (PD Acute)
– Kronis Peritoneal Dialisis (CAPD)
Continous:Terus menerus selama 24 jam
Ambulatory:Bebas bergerak
Peritoneal:Peritoneum sebagai membran semi permeable
Dialysis:Membersihkan tubuh dari zat sisa-sisa metabolisme dan kelebihan cairan.
Ketika ginjal mengalami kerusakan maka ginjal tidak dapat membersihkan tubuh dari sisa-sisa metabolisme. Sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air menumpuk dan lama kelamaan menjadi banyak di dalam darah yang disebut uremia.
Gagal ginjal kronik berarti kehilangan fungsi ginjal yang bisa terjadi secara cepat atau lambat dalam beberapa tahun. End Stage Renal Disease (ESRD) terjadi ketika ginjal mengalami kerusakan tahap akhir, dimana ginjal tidak dapat bekerja dengan baik untuk menjaga keseimbangan zat-zat kimia tubuh yang diperlukan untuk hidup. Pada saat ini pasien memerlukan dialysis sebagai terapi pengganti.

BAB III
KESIMPUAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Jadi peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang. Ketika ginjal mengalami kerusakan tahap akhir, dimana ginjal tidak dapat bekerja dengan baik untuk menjaga keseimbangan zat-zat kimia tubuh yang diperlukan untuk hidup. Pada saat ini pasien memerlukan dialysis sebagai terapi pengganti.

B.SARAN
Untuk mencegah hal itu terjadi maka diperlukan pola hidup yang sehat supaya terhindar dari penyakit ginjal dan apabila sudah terkena penyakit tersebut maka harus dilakukan peritonium dialisis.


Diposting Oleh :
Nama : Muhammad Randi Rikaz
NIM :05200ID090141
Kelas :2D
Kelompok
 Asep Taupik
 Ilham Abdurahman
 Mahendra Setiawan
 Muhammad Randi Rikaz

MAHASISWA AKPER PEMDA GARUT

DAFTAR PUSTAKA

http://taipsukahati.blogspot.com/2010/11/peritoneal-dialysis.html
http://www.google.co.id/search?um=1&hl=id&q=peritoneum%20dialisis&biw=1360&bih=632&ie=UTF-8&sa=N&tab=iw

Kamis, 14 April 2011

Askep Pada Pasien Cangkok Ginjal

Pendahuluan
Di Indonesia transplantasi ginjal dimulai 4-oktober-1977 di RSCM, dan kemudian disusul oleh RS PGI Cikini pada tanggal 8-oktober 1977, dan mulai tahun 1985 disusul oleh RS Karyadi, Bandung, Medan. Transplantasi baru dapat dilakukan bila persyaratan antara donor dan resipient terpenuhi.

Pengertian
Transplantasi ginjal adalah pembedahan ginjal manusia yang ditransfer dari satu individu ke individu lain (Lucman and Sorensen).
Transplantasi ginjal merupakan insersi pembedahan ginjal manusia dari sumber yang hidup atau ginjal cadaver kepada klien dengan penyakit ginjal tahap akhir,untuk mengganti hilangnya fungsi ginjal yang normal (Gorzemen and Bawdain).

Tujuan
Transplantasi mempunyai 2 tujuan yaitu:
1. Untuk membebaskan diri dari ketergantungan terhadap dialysis.
2. Dapat menikmati hidup yang lebih baik, makan/minum bebas, perasaan sehat seperti orang lain/normal.

Syarat-syarat
Recipient:
- Usia 13-60 tahun
- Tidak mengidap penyakit berat, keganasan, TBC, hepatitis, Jantung
- Harus dapat menerima terapi imunosupresif dalam waktu yang lama dan harus patuh minum obat
- Sudah mendapat HD yang teratur sebelumnya
- Mau melakukan pemeriksaan pasca transplantasi ginjal.
Donor:
- Usia 18-50 tahun
- Mempunyai motivasi yang tinggi tanpa paksaan
- Kedua ginjal normal, tidak terinfeksi
- Tidak mengidap penyakit berat yang dapat memperburuk fungsi ginjal dan komplikasi setelah operasi
- Hasil laboratorium semuanya dalam batas normal.
Jika donor hidup tidak tersedia, pasien harus menunggu jaringan yang diambil dari mayat yang cocok, dan untuk mendapatkan donor yang cocok akan diatur oleh organisasi dibawah aturan pemerintah yaitu organisasi yang dibiayai secara federal yang mengkoordinasi pertukaran organ,dan dengan sistim komputer akan mencocokkan donor mayat dengan calon penerima.

Persiapan transplantasi ginjal
a. Persiapan resipient dan keluarga
Perawat mempunyai peran penting sebagai advokat untuk memastikan bahwa semua upaya dibuat untuk menentukan dan bertindak atas keinginan pasien berkenan dengan pendonoran dan perawat juga berperan vital dalam mendukung keluarga secara psikologis, terutama saat mereka mencoba menerima donor dari mayat, serta sebagai koordinator transplan yaitu memastikan bahwa keluarga mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memberikan surat persetujuan.
Setelah ada persetujuan dari keluarga, tim akan menjelaskan mengenai operasi dan perawatannya:
1. Lokasi dan letak ginjal baru
2. Penggunaan bermacam-macam peralatan yang mungkin diperlukan selama perawatan
3. Pengambilan darah yang sering dilakukan
4. Untuk mencegah infeksi pasien ditempatkanditempat khusus, dimana anggota keluarga tidak diperbolehkan masuk
5. Kemungkinan timbul komplikasi seperti infeksi, rejeksi setelah operasi
6. Mobilisasi: merubah posisi, membatukkan, latih duduk dan berdiri serta cara nafas efektif.
Dengan demikian diharapkan pasien dan keluarga akan merasa aman dan dapat bekerja sama dan bersikap lebih terbuka untuk membantu perawatan.

b. Persiapan donor dan keluarga
Pada prinsipnya sama dengan persiapan operasi pada umumnya hanya spesifikasinya 2jam sebelum operasi resipient dan donor dikompres dengan cairan bethadin pada daerah yang akan dioperasi dan setelah operasi resipient masuk kedalam ruangan khusus dan steril.

c. Persiapan ruangan dan peralatan
Ruangan yang akan dipakai setelah operasi 2 hari sebelumnya harus dibersihkan,semua peralatan dan obat-obatan dimasukkan ke ruangan tersebut dengan disinari ultraviolet selama 24jam.
Resipient transplantasi biasanya dirawat dalam area lengkap yang dirancang secara khusus baik untuk fase penyembuhan maupun fase pemulihan, hal ini untuk menghindari pemindahan pasien, menurunkan resiko terhadap infeksi bagi pasien yang mengalami imunosupresan.

d. Persiapan pasien sebelum operasi
Persiapan ini termasuk pengkajian yang berhubungan dengan riwayat penyakit yang lalu (mis: HT,DM,kanker), tingkat kecemasan pasien, pengetahuan pasien dan keluarga tentang prosedur transplan,efek samping dari pembedahan juga termasuk pemeriksaan laboratorium, ECG, pemeriksaan radiologi (mis: foto thorak,USG ginjal,CT scan ginjal, IVP),pemeriksaan fisik (mis: BB, TTV, pola eliminasi urine, adakah tanda-tanda infeksi, gangguan pernafasan, tanda-tanda kelebihan/kekurangan cairan elektrolit) dan dialisis dalam 24 jam pembedahan. Dialisis ini dilakukan untuk menggembalikan kimia darah ke kadar mendekati normal, memperbaiki perubahan agregasi trombosis yang ditimbulkan oleh uremia dan mengeluarkan kelebihan cairan.
Bila donor hidup, persiapan dapat dilakukan sehari sebelum transplantasi, tetapi bila donor mayat/cadaver semua persiapan harus selesai dalam beberapa jam.

e. Persiapan pasien setelah transplantasi ginjal
- Setelah operasi pasien langsung ditempatkan diruangan khusus yang telah disediakan peralatan dan obat-obatan
- Memonitor tanda-tanda vital, tingkat kesadaran pasien dan derajat nyeri
- Menghitung jumlah line intravena yang terpasang, catat tempat insisi, jenis cairan dan kecepatan tetesan
- Monitor balutan abdomen dan catat apakah ada drain
- Catat dan amati letak kateter urether serta drainase urine dari tiap kateter
- Temukan akses vaskuler dan tentukan patensinya dengan meletakkan jari atau stetoskop tepat diatas tempat akses dan raba atau dengarkan karakteristik bunyi denyutan disebut desiran (bruit)
- Bila terpasang NGT sambungkan selang tersebut ke sistim drainase yang sesuai
- Ukur lingkar abdomen pada insisura iliaka, ini merupakan informasi dasar yang digunakan nanti untuk pengkajian ada tidaknya komplikasi (mis: kebocoran uretra, limfosel atau perdarahan)
- Pada pasien anak dipantaunya lebih sering daripada pasien dewasa karena sifat dinamik dari cairan anak dan status kardiovaskuler seperti tekanan darah, BB
- Rungan harus ditutup dan hanya anggota tim transplantasi ginjal yang diperkenankan masuk
- Setiap petugas yang memasuki ruangan harus memakai masker dan baju serta alas kaki yang khusus
- Keluarga pasien tidak diperkenankan masuk ruangan tersebut, hanya diperbolehkan melihat melalui kaca, semua itu dilakukan untuk mencegah infeksi.

Komplikasi
Komplikasi transplantasi ginjal ada 2 yaitu:
• Komplikasi bedah: kebocoran, trombosis pada vena renalis dan ateri renalis
• Komplikasi medik: infeksi, rejeksi, toksitas obat.

Pendidikan Pasien Sebelum Pulang
Sebelum pulang pasien harus dapat melakukan perawatan sendiri dengan dibantu oleh keluarganya sesuai dengan yang dilakukan di rumah sakit, oleh karena itu pasien dan keluarga harus dilibatkan selama perawatan di rumah sakit. Misalnya mengenai obat-obatan sebaiknya ditulis pada kertas nama obat, dosis, cara pemberian dan bila perlu waktu/jam pemberiannya.
Disamping itu dijelaskan juga efek sampingnya dan pentingnya obat tersebut agar dapat diminum secara teratur dan tepat agar mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan keinginan kita. Pasien juga dianjurkan untuk membuat catatan mengenai cairan yang masuk dan keluar selama 24jam, tekanan darah, suhu badan, dan juga kelainan yang mungkin terjadi juga harus dicatat.
Karena masih mudahnya terkena infeksi, maka pasien dianjurkan untuk mandi 2x sehari, pasien juga tidak boleh mengangkat beban yang berat, olah raga, dan pasien harus rutin memeriksakan kesehatannya secara teratur terutama bila ada keluhan dan kelainan-kelainan segera dilaporkan ke dokter.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TRANSPLANTASI GINJAL

PRE OPERASI
Diagnosa keperawatan :
Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan dari transplantasi ginjal.
Kriteria hasil :  Rasa cemas berkurang
 Pasien dapat menyebutkan proses transplantasi ginjal
 Wajah rileks.

Intervensi :
a. Gambarkan persiapan praoperasi pada pasien termasuk puasa, pemberian infuse, dialysis dan obat praoperasi
b. Terangkan bahwa dialysis mungkin perlu secara sementara setelah transplantasi ginjal
c. Jelaskan prosedur pembedahan termasuk dimana ginjal akan diletakkan dalam abdomen, dan bagaimana ginjal akan berfungsi dan lamanya pembedahan
d. Gambarkan adanya infus pasca operasi, drain dan kateter
e. Diskusikan nyeri insisi, pastikan pasien bahwa akan ada metode untuk menurunkan nyeri termasuk obat dan pembebatan insisi
f. Latih cara batuk, nafas dalam, ganti posisi tidur pasien
g. Dorong keterlibatan dengan kelompok pasien yang telah menjalani transplantasi
h. Gambarkan pernyataan sederhana, ulangi dan ungkapkan dengan kalimat lain jika perlu
i. Beri kesempatan pasien untuk mengekspresikan kecemasannya tentang pembedahan, mengungkapkan berbagai ketidakpastian dan mengajukan pertanyaan
j. Tawarkan kesempatan pada pasien untuk memperjelas dengan seseorang yang telah berhasil dan tidak berhasil dalam transplantasi ginjal.

POST OPERASI
1. Diagnosa keperawatan :
Nyeri (akut) berhubungan dengan adanya insisi luka operasi, spasme otot, atau adanya distensi abdomen/kandung kemih.
Kriteria hasil : Pasien dapat toleransi terhadap rasa nyeri
Ungkapan rasa nyeri berkurang/hilang
Ekpresi wajah tenang.
Intervensi :
a. Beri support kepada pasien untuk menggungkapkan raya nyerinya
b. Atur posisi yang nyaman
c. Anjurkan untuk istirahat baring di tempat tidur
d. Pantau skala nyeri nyeri, tentukan lokasi, jenis factor yang meningkatkan rasa nyeri serta tanda dan gejala yang menunjang
e. Ciptakan lingkungan yang tenang
f. Ajarkan tehnik relaksasi (latih nafas dalam)
g. Longgarkan atau kencangkan bebat daerah yang sakit
h. Beri kesempatan untuk istirahat selama nyeri, buat jadwal aktifitas bila nyeri berkurang
i. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik, oksigen dan pemeriksaan penunjang
j. Berikan obat pengurang rasa sakit dan observasi 30 menit kemudian.

2. Diagnosa Keperawatan:
Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan transplantasi ginjal, penolakan, obat-obatan nefrotoksik, gagal ginjal.
Kriteria Hasil : Pasien akan mempertahankan keluaran urine yang adekuat.
Intervensi :
a. Periksa haluaran urine setiap 1 jam pada awalnya
b. Catat warna urine adanya bekuan
c. Amati dan pertahankan terhadap patensi serta drainase urine pada setiap kateter
d. Pertahankan banyaknya volume cairan intravena untuk membilas ginjal sesuai program
e. Beritahu dokter terhadap adanya kebocoran urine pada balutan abdomen, nyeri abdomen hebat atau destensi abdomen
f. Bila pasien oligouri progresif, teliti pemeriksaan fungsi ginjal, kaji status hidrasi dan beritahu dokter.

3. Diagnosa Keperawatan :
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, gagal ginjal, penolakkan tranplantasi, tingginya volume cairan intravena.
Kriteria Hasil : Pasien mengeluarkan urine yang adekuat dan tidak menahan cairan.
Intervensi :
a. Monitor TD dan nadi setiap 1jam
b. Ukur haluaran urine setiap 1jam
c. Timbang BB setiap hari
d. Auskultasi paru-paru setiap pergantian dinas sesuai indikasi
e. Pertahankan keakuratan catatan masuk dan keluarnya cairan
f. Beri banyak cairan sesuai program
g. Beri obat diuritik sesuai program
h. Pertahankan mesukan natrium sesuai program
i. Laporkan semua temuan abnormal.

4. Diagnosa Keperawatan :
Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunosupresi
Kriteria hasil :  Pasien akan mengalami penyembuhan jaringan normal
 Pasien tidak demam, insisi kering, urine jernih/kuning tanpa sediment, paru-paru bersih.

Intervensi :
a. Lakukan cuci tangan dengan bersih sebelum, selama, dan setelah merawat pasien.
b. Gunakan tehnik aseptik dengan saksama dalam merawat semua kateter, selang infus sentral, pipa endoktrakheal, dan selang infuse perifer.
c. Periksa suhu tubuh setiap 4 jam.
d. Pertahankan lingkungan yang bersih.
e. Lepaskan kateter secepat mungkin sesuai program.
f. Ganti segera balutan yang basah untuk membatasi media bagi organisme.
g. Berikan nutrisi yang adekuat.
h. Pertahankan integritas kulit.
i. Larang pengunjung dan perawat dengan infeksi saluran pernapasan aktif untuk kontak dengan pasien.
j. Pantau nilai-nilai laboraturium, khususnya SDP (sel darah putih) dan periksa spicemen dari drainase yang dicurigai untuk dikultur dan sensitivitas.
k. Inspeksi daerah insisi tiap hari terhadap semua tanda-tanda inflamasi; nyeri, kemerahan, bengkak, panas, dan drainase.
l. Auskultasi paru terhadap bunyi nafas setiap 4 jam.
m. Anjurkan dan bantu ambulasi dini.
n. Perhatikan karakter urine dan laporkan bila keruh dan bau busuk.
o. Beritahu dokter setiap adanya indikasi infeksi.
p. Berikan antimicrobical, sesuai program.

5. Diagnosa Keperawatan :
Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan resiko dari reaksi imun transplantasi dan efek samping dari obat-obatan imunosupresi, atau kebutuhan hemodialisa lanjut.
Kriteria hasil :  Pasien akan mempertahankan fungsi ginjal.
 Tidak ada tanda dan gejala reaksi imun
 Immunosupresan sesuai toleransi tanpa adanya efek samping

Intervensi :
a. Pantau dan laporkan tanda dan gejala reaksi imun(kemerahan, bengkak,nyeri tekan diatas sisi transplantasi, peningkatan suhu, peningkatan sel darah putih, penurunan haluaran urine, peningkatan proteinuria, peningkatan BB tiba-tiba, peningkatan BUN dan kreatinin, edema).
b. Periksa tanda-tanda vital setiap 2-4 jam.
c. Monitor masukan dan haluaran cairan setiap jam selanjutnya setiap 3 jam.
d. Kaji akses dialysis
e. Pantau dan laporkan efek samping dari obat-obatan immunosupresif
f. Siapkan pasien untuk operasi mengangkat ginjal yang ditolak jika terjadireaksi hiperakut
g. Berikan dukungan kepada pasien dan keluarga.

6. Diagnosa keperawatan :
Resiko tinggi terhadap penatalaksanaan di rumah berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang perawatan diri, riwayat ketidak patuhan.
Kriteria hasil : Menyatakan mengerti tentang instruksi pulang.
Intervensi :
a. Kembangkan rencana penyuluhan bekerja sama dengan koordinator transplantasi. Pastikan pasien dan anggota keluarga mengetahui:
- Nama, frekuensi, indikai, dosis, dan efek samping dari semua obat yang di berikan.
- Tanda dan gejala infeksi untuk di laporkan.
- Tanda dan gejala reaksi imun untuk di laporkan.
- Diet – biasanya pembatasan natrium; atur untuk konsul tentang diet.
- Bagaimana mengumpulkan specimen yang di perlukan, seperti pengumpulan urine 24 jam dan urine bersih.
- Nilai normal laboraturium untuk kreatinin dan BUN.
- Kaji berat badan dan suhu tubuh setiap hari. Pastikan pasien mempunyai catatan berat badan dan suhu tubuh setiap hari.
b. Tinjau ulang jadwal untuk kunjungan lanjut ke kantor atau klinik transplantasi. Pastikan pasien mengetahui dimana dan seberapa sering darah perlu di periksa. Pastikan semua instruksi perawatan mandiri dan perjanjian evaluasi di tulis.
c. Anjurkan pasien untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan perawatan diri sejak di rumah sakit (meminum obat sendiri, mengukur berat badan sendiri, mengukur suhu, memonitor nilai-niali laboraturium).
d. Anjurkan pasien untuk meningkatkan kegiatan ketika di rumah sakit. Jika di ijinkan, mungkin pasien dapat melihat fasilitas lain seperti kafetaria dan toko souvenir.
e. Ingatkan pasien :
- Bahwa agen imunosupresif harus di berikan untuk mempertahankan cangkokan ginjal.
- Memakai gelang waspada-medik untuk identifikasi diri sebagai seorang dengan cangkok ginjal dan pengguna agen imunosupresif.
- Menghindari diri dari kegiatan olahraga kontak.
f. Rujuk pasien pada bimbingan pekerjaan untuk bantuan rencana kerja bila pasien merasa siap.
g. Libatkan anggota keluarga dalam semua penyuluhan jika memungkinkan.
h. Tekankan kembali perlunya melaporkan lebih awal tanda-tanda.


DAFTAR PUSTAKA

Carpernito, Linda juall, 1995. Nursing Care Plans and Documentation : Nursing diagnosis and colaborative problems. Second Edition J.B. Lippincott Company.

Engram, Barbara. 1998. Rencana asuhan keperawatan medical bedah. Edisi bahasa Indonesia. Volume satu.

Hudak, Carolyn, 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Edisi pertama. Jakarta; EGC.

Hamilton, D. 1984. Kidney Transplantation in P. J. Morris (Ed). Kidney Transplantation : Principles and Practice. New York : Grune & Stratton.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner Suddarth. Edisi delapan. Volume dua. Jakarta. EGC.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS ( GGK )

A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626). Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)

B. ETIOLOGI
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). (Doenges, 1999; 626)
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
• Infeksi misalnya pielonefritis kronik
• Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
• Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
• Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
• Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
• Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
• Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

C. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
• Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal dan penderita asimtomatik.
• Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.
• Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
• Hipertensi
• Pitting edema
• Edema periorbital
• Pembesaran vena leher
• Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
• Krekel
• Nafas dangkal
• Kusmaull
• Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
• Anoreksia, mual dan muntah
• Perdarahan saluran GI
• Ulserasi dan pardarahan mulut
• Nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal
• Kram otot
• Kehilangan kekuatan otot
• Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
• Warna kulit abu-abu mengkilat
• Pruritis
• Kulit kering bersisik
• Ekimosis
• Kuku tipis dan rapuh
• Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
• Amenore
• Atrofi testis

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi.
2. Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit

F. PENCEGAHAN
Obstruksi dan infeksi saluran kemih dan penyakit hipertensi sangat lumrah dan sering kali tidak menimbulkan gejala yang membawa kerusakan dan kegagalan ginjal. Penurunan kejadian yang sangat mencolok adalah berkat peningkatan perhatian terhadap peningkatan kesehatan. Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah dan pemeriksaan urinalisis.
Pemeriksaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress (infeksi, kehamilan). (Barbara C Long, 2001)

G. PENATALAKSANAAN
1. Dialisis (cuci darah)
2. Obat-obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih)
3. Diit rendah protein dan tinggi karbohidrat
4. Transfusi darah
5. Transplantasi ginjal

H. PATHWAY

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan.


J. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3.Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

Rabu, 13 April 2011

TRAUMA GINJAL

TRAUMA GINJAL
I.Pengerian
Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering terjadi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma abdominal. Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ penting lainnya. Pada trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar 85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas.

Trauma ginjal biasanya terjadi akibat kecelakaan lalulintas atau jatuh. Trauma ini biasanya juga disertai dengan fraktur pada vertebra thorakal 11-12. Jika terdapat hematuria kausa trauma harus dapat diketahui. Laserasi ginjal dapat menyebabkan perdarahan dalam rongga peritoneum.
Tujuan dari penanganan trauma ginjal adalah untuk resusitasi pasien, mendiagnosis trauma dan memutuskan penanganan terapi secepat mungkin. Penanganan yang efisien dengan tehnik resusitasi dan pemeriksaan radiologi yang akurat dibutuhkan untuk menjelaskan manajemen klinik yang tepat. Para radiologis memainkan peranan yang sangat penting dalam mencapai hal tersebut, memainkan bagian yang besar dalam diagnosis dan stadium trauma. Lebih jauh, campur tangan dari radiologis menolong penanganan trauma arterial dengan menggunakan angiografi dengan transkateter embolisasi. Sebagai bagian yang penting dar trauma, radiologi harus menyediakan konsultasi emergensi, keterampilan para ahli dalam penggunaan alat-alat radiologis digunakan dalam evaluasi trauma, dan biasanya disertai trauma tumpul pada daerah abdominal.
II. Etiologi
Sebagian besar trauma (ruptur) ginjal terjadi akibat trauma tumpul. Secara umum, trauma ginjal dibagi dalam tiga kelas : laserasi ginjal, kostusio ginjal, dan trauma pembuluh darah ginjal. Semua kelas tersebut memerlukan indeks pengetahuan klinik yang tinggi dan evaluasi serta penanganan yang cepat.
III. Epidemiologi
Laju mortalitas dan morbiditas trauma (ruptur) ginjal bervariasi tergantung dari beratnya trauma yang terjadi, derajat trauma yang mengenai organ lainnya dan rencana pengobatan yang digunakan. Oleh karena itu, pilihan penanganan harus mempertimbangkan angka mortalitas dan morbiditas. Secara keseluruhan, dengan tekhnik penanganan modern, laju pemeliharaan ginjal mencapai 85-90%.
IV. Insidensi
Frekuensi trauma ginjal agak tergantung pada jumlah populasi yang ada. Jumlah trauma (ruptur) ginjal kira-kira 3% dari keseluruhan jenis trauma dan 10% dari pasien tersebut masuk dalam trauma abdominal.
Trauma (ruptur) ginjal merupakan trauma urologi yang paling sering terjadi, terjadi 8-10% dari pasien dengan disertai trauma pada abdomen. Dari penelitian Baverstock (2001) dan Sagalowsky (1983) trauma tumpul merupakan penyebab terbanyak dengan jumlah sebesar 80% dari trauma ginjal. Di antara pasien dengan hematuria, tercatat trauma ginjal sebesar 25%; dimana kurang dari 1% pasien dengan mikrohematuria yang memiliki trauma ginjal (Cass, 1986; Nicolaisen, 1985; Herschorn, 1991; McAndrew, 1994).
V. Anatomi Ginjal
Normalnya sepasang ginjal terletak terbaring pada rongga peritoneal pada daerah tengah menuju daerah posterior dinding abdomen. Secara umum, kedua ginjal tersebut bertugas sebagai alat yang menyaring sampah-sampah dan mengeluarkan bahan yang tidak digunakan dari darah menuju ke traktus urinarius bagian bawah. Pada bagian belakang, kedua ginjal berbatasan dengan otot psoas dan otot lumborum; pada bagian atas, ginjal berhubungan dengan diafragma dan kelanjar suprarenal. Karena ginjal terletak kira-kira antara vertebra thorakal 12 dan vertebra lumbal ketiga, kedua ginjal tersebut dilindungi oleh sebagian costa inferior.

Gambar 1 : Anatomi Ginjal
VI. Patofisiologi
Trauma (ruptur) ginjal dapat terjadi oleh karena beragam mekanisme. Di Amerika Serikat, kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab terbanyak dari trauma tumpul abdominal yang menyebabkan trauma ginjal. Selain itu, jatuh dari ketinggian termasuk luka tembakan, merupakan penyebab selebihnya. Pada kasus jarang, trauma ginjal terjadi oleh karena penyebab iatrogenic (contohnya angiomyolipoma) yang dapat bermanifestasi dengan perdarahan setelah trauma minor.
Sebagian besar trauma (ruptur) ginjal muncul dengan gejala hematuria (95%), yang dapat menjadi besar pada beberapa trauma ginjal yang berat. Akan tetapi, trauma vaskuler ureteropelvic (UPJ), hematuria kemungkinan tidak tampak. Oleh karena, sebagian besar penanganan trauma, termasuk trauma ginjal, membutuhkan sedikit prosedur invasif (Baverstock, 2001; Moudouni, 2001; Santucci, 2001), maka pemeriksaan radiologi sangatlah penting. Dengan pemeriksaan yang akurat dari radiologi pasien dapat ditangani dengan optimal secara konservatif dari penanganan pembedahan.
Berdasarkan American Association for the surgery of Trauma (AAST), trauma (ruptur) ginjal terbagi dalam beberapa derajat :
1. Grade I
- Hematuria dengan pemeriksaan radiologi yang normal
- Kontusio
- Hematoma subkapsular non-ekspanding
2. Grade 2
- Hematoma perinefrik non-ekspanding yang terbatas pada retroperitoneum.
- Laserasi kortikal superficial dengan kedalaman kurang dari 1 cm tanpa adanya trauma pada sistem lain.
3. Grade 3
Laserasi ginjal yang kedalamannya lebih dari 1 cm tidak melibatkan sistem lainnya.
4. Grade 4
- Laserasi ginjal yang memanjang mencapai ginjal dan sistem lainnya.
- Trauma yang melibatkan arteri renalis utama atau vena dengan adanya hemoragik
- Infark segmental tanpa disertai laserasi
- Hematoma pada subkapsuler yang menekan ginjal
5. Grade 5
- Devaskularisasi ginjal
- Avulse ureteropelvis
- Laserasi lengkap atau thrombus pada arteri atau vena utama
VII. Diagnostik
Untuk diagnostik pada penyakit ini didasarkan pada manifestasi klinis, laboratorium, dan pemeriksaan radiologi.
VII.1. Manifestasi Klinis
Tanda kardinal dari trauma (ruptur) ginjal adalah hematuria, yang dapat bersifat massif atau sedikit, tetapi besarnya trauma tidak dapat diukur dengan volume hematuria atau tanda-tanda luka. Tanda lainnya ialah adanya nyeri pada abdomen dan lumbal, kadang-kadang dengan rigiditas pada dinding abdomen dan nyeri lokal. Jika pasien datang dengan kontur pinggang yang kecil dan datar, kita dapat mensuspeknya dengan hematoma perinefrik. Pada kasus perdarahan atau efusi retroperitoneal, trauma ginjal kemungkinan dihubungkan dengan ileus paralitik, yang bisa menimbulkan bahaya karena membingungkan untuk didiagnosis dengan trauma intraperitoneal.
Dokter harus memperhatikan fraktur iga, fraktur pelvis atau trauma vertebra yang dapat berkembang menjadi trauma ginjal. Nausea dan vomiting dapat juga ditemukan. Kehilangan darah dan shock kemungkinan akan ditemukan pada perdarahan retroperitoneal.
VII.2. Laboratorium
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah urinalisis. Pada pemeriksaan ini diperhatikan kekeruhan, warna, pH urin, protein, glukosa dan sel-sel. Pemeriksaan ini juga menyediakan secara langsung informasi mengenai pasien yang mengalami laserasi, meskipun data yang didapatkan harus dipandang secara rasional. Jika hematuria tidak ada, maka dapat disarankan pemeriksaan mikroskopik. Meskipun secara umum terdapat derajat hematuria yang dihubungkan dengan trauma traktus urinarius, tetapi telah dilaporkan juga kalau pada trauma (ruptur) ginjal dapat juga tidak disertai hematuria. Akan tetapi harus diingat kalau kepercayaan dari pemeriksaan urinalisis sebagai modalitas untuk mendiagnosis trauma ginjal masih didapatkan kesulitan.
VII.3. Radiologi
Cara-cara pemeriksaan traktus urinarius dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: foto polos abdomen, pielografi intravena, urografi retrograde, arteriografi translumbal, angiografi renal, tomografi, sistografi, computed tomography (CT-Scan), dan nuclear Magnetic resonance (NMR).
VII.3.1. Intravenous Pyelography (IVP)
Tujuan pemeriksaan IVP adalah (1) untuk mendapatkan perkiraan fungsional dan anatomi kedua ginjal dan ureter, (2) menentukan ada tidaknya fungsi kedua ginjal, dan (3) sangat dibutuhkan pada bagian emergensi atau ruangan operasi.(7)
Sedangkan kerugian dari pemeriksaan ini adalah (1) pemeriksaan ini memerlukan gambar multiple untuk mendapatkan informasi maksimal, meskipun tekhnik satu kali foto dapat digunakan; (2) dosis radiasi relative tinggi (0,007-0,0548 Gy); (3) gambar yang dihasilkan tidak begitu memuaskan.(8)
Gambar 2 : Gambaran IVP Trauma Ginjal(13)
Gambar di atas merupakan gambaran trauma ginjal grade 3. Setelah pemasukan kontras secara intravena, pada gambar tersebut terlihat berkurangnya gambaran struktur ginjal kiri jika dibandingkan dengan sebelah kanan serta tidak terdapat ekstravasasi kontras.
VII.3.2. Computed Tomography (CT)
Computed Tomography (CT) merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai traktus urinarius. Pemeriksaan ini dapat menampakan keadaan anatomi traktus urinarius secara detail. Pemeriksaan ini menggunakan scanning dinamik kontras.
Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah (1) memeriksa keadaan anatomi dan fungsional ginjal dan traktus urinarius, (2) membantu menentukan ada atau tidaknya gangguan fungsi ginjal dan (3) membantu diagnosis trauma yang menyertai.
Kerugian dari pemeriksaan ini adalah (1) pemeriksaan ini memerlukan kontas untuk mendapatkan informasi yang maksimal mengenai fungsi, hematoma, dan perdarahan; (2) pasien harus dalam keadaan stabil untuk melakukan pemeriksaan scanner; dan (3) memerlukan waktu yang tepat untuk melakukan scanning untuk melihat bladder dan ureter.

Gambar 3 : Gambaran CT-Scan Trauma Ginjal(13)
Gambar di atas merupakan trauma ginjal grade 1. Setelah pemasukan kontras gambar tersebut memperlihatkan adanya hematoma subkapsular dengan densitas high-cresentic karena pengumpulan cairan di sekitar ginjal kanan.
VII.3.3. Ultrasonografi (USG) Renal
Keuntungan pemeriksaan ini adalah (1) non-invasif, (2) dapat dilakukan bersamaan dengan resusitasi, dan (3) dapat membantu mengetahui keadaan anatomi setelah trauma.(7)
Kerugian dari pemeriksaan ini adalah (1) memerlukan pengalaman sonografer yang terlatih, (2) pada pemeriksaan yang cepat sulit untuk melihat mendeskripsikan anatomi ginjal, dimana kenyataannya yang terlihat hanyalah cairan bebas, (3) trauma bladder kemungkinan akan tidak dapat digambarkan.(7)
Gambar 4 : Gambaran USG Trauma Ginjal(13)
Gambar di atas menggunakan USG yang merupakan gambaran trauma ginjal grade 5. Dari hasil pemeriksaan ini didapatkan adanya darah pada ginjal bagian kanan.
VII.3.4. Angiography
Keuntungan pemeriksaan ini adalah (1) memiliki kapasitas untuk menolong dalam diagnosis dan penanganan trauma ginjal, dan (2) lebih jauh dapat memberikan gambaran trauma dengan abnormalitas IV atau dengan trauma vaskuler.(7)
Kerugian dari pemeriksaan ini adalah (1) pemeriksaan ini invasif, (2) pemeriksaan ini memerlukan sumber-sumber mobilisasi untuk melakukan pemeriksaan, seperti waktu; (4) pasien harus melakukan perjalanan menuju ke ruang pemeriksaan.

Gambar 5 : Gambaran Angiography Trauma Ginjal(13)
Gambaran Angiografi di atas memperlihatkan adanya ekstravasasi kontas pada vaskular aktif dan terdapat pseudoaneurisma pada bagian bawah ginjal.(13)

VII.3.5. Magnetic Resonannce Imaging (MRI)
MRI digunakan untuk membantu penanganan trauma ginjal ketika terdapat kontraindikasi untuk penggunaan kontras iodinated atau ketika pemeriksaan CT-Scan tidak tersedia. Seperti pada pemeriksaan CT, MRI menggunakan kontas Gadolinium intravena yang dapat membantu penanganan ekstravasasi sistem urinarius. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksan terbaik dengan sistem lapangan pandang yang luas.

VIII. Penatalaksanaan
Tujuan dari penanganan penyakit ini adalah mencegah gejala-gejala darurat dan penanganan komplikasi. Analgesik dibutuhkan untuk mengurangi rasa sakit. Hospitalisasi dan observasi tertutup dibutuhkan karena resiko perdarahan tertutup dari trauma ginjal. Perdarahan yang cukup berat membutuhkan pembedahan keseluruhan ginjal (nefroktomi) untuk mengontrol perdarahan. Pembedahan dilakukan untuk mengontrol perdarahan termasuk drainase pada ruang sekitar ginjal. Kadang-kadang angio-embolisasi dapat menghentikan perdarahan. Pembedahan dilakukan untuk memperbaiki keadaan parenkim ginjal dan vaskularisasinya. Dimana tekhnik yang akan dilakukan tergantung pada lokasi terjadinya trauma. Pengobatan non-bedah termasuk istirahat selama 1-2 minggu atau selama perdarahan berkurang, adanya nyeri, dan observasi tertutup dan penanganan gejala-gejala dari gagal ginjal. Pengobatan ini juga harus diimbangi dengan retriksi diet dan penanganan gagal ginjal.

IX. Prognosis
Hasil yang didapatkan dari pengobatan bervariasi tergantung pada penyebab dan luasnya trauma (ruptur). Kerusakan kemungkinan ringan dan reversible, kemungkinan membutuhkan penanganan yang sesegera mungkin dan munkin juga menghasilkan komplikasi.

X. Komplikasi
Komplikasi tercepat terjadi dalam 4 minggu setelah trauma dan termasuk ekstravasasi urin dan bentuk urinoma, yang disertai perdarahan, infeksi urinoma dan abses perinefrik, sepsis, fistula arteriovenous, pseudoanerysma dan hipertensi.
Komplikasi yang lama termasuk hironefrosis, hipertensi, bentuk kalkulus, dan pyelonefritis kronik. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Husman dan Moris didapatkan bahwa komplikasi lebih banyak ditemukan pada pasien yang devaskularisasi dibandingkan dengan pasien yang vaskularisasi.
Komplikasi infeksi pada sistem urinari dan abses perinefrik umumnya didapatkan pada pasien yang belum dilakukan pembedahan.

oleh ilham abdul rahman